Haltenya Philipus

Monday, July 31, 2006

It Is Mass Communication

Associated Press (AP) writes: authorities in China have started this year to use mobile phone to disseminate warning text messages – knowing as sort message service or SMS – to their people. They inform people weather forecast on the possibility of typhoons land to the region. In Fujian province, for example, during the year the authorities have sent about 18 million messages with five typhoons information.

Chinese government is not the first to use mobile phone as a mass-messages delivery device. In Indonesia, since last year President Susilo Bambang Yudhoyono has provided a special number for people to inform him every corruption cases they know occured in states departments. He used text messages to remind people about the danger of narcotics – I used to get a number of the messages last year. In Philippine mobile phone is even being used as a powerful political tool -- just similar to the Lebanese as they organized themselves to run protests against Syria military incursion on their land two years ago.

It is amazing to see how a technology that initially created for personal purposes is now being used as a media for mass communication activities. I must say that communication scholars are having a new challenge now: to redefine the boundaries between mass communication and interpersonal communication. Are those “old” presumption on mass communication theories – that only mass media can reach the large number of audiences at the same time and affect its audiences massively – still reliable?

“Nearly one-third of China's 1.3 billion people has a cell phone, creating a rival to television and radio as a way to reach the public,”writes AP. “China's population of cell phone users — the world's biggest — long ago surpassed the country's 365 million fixed-line phones, and is growing rapidly.”


To some extent mobile phone is similar to the Internet. You can use both of them not only as personal devices but also as mass communication channels. However, while the “power” of the Internet has been recognized long before, the abilities of mobile phone for a mass communication agenda is just to be discovered. Like the Internet it has an advance feature that hasn't been able provided by traditional mass media: the intensive direct personal-massive feed back channels. As a result, people can use mobile phone as a pro-democratic tool, as well as the Internet, for undermining authoritarian rule. However, I will also say that it is just a question of time before governments around the world find their ways of reducing the "power" of the devices and manipulating them for their own "authoritarian" purposes.

Wednesday, July 26, 2006

What Do You See

I surfed Mahalanobis Blog yesterday and came across this brilliant small peace of psychological “illusion”: a duck-rabbit figure by an American psychologist, Joseph Jastrow. Tell me, what animal is depicted by the figure beside?

The illusion evoked my memory of an old story of blind people trying to recognize the shape of an elephant. After touched the animal's trunk one said it was a long fat rope-like creature. Another said indeed it was rope-like but very slim -- he fortunately found the tail. And the other blind said the creature was like a wall, a tree, or a large leaf since they only touched the body, leg, and ear.

Perception to my understanding is build upon information people known before. That is why the blind define the elephant by comparing it to other creatures or things they have known. Problem arose when they only got partial information and came out with various perceptions. Nevertheless, by asking someone else who able to see or touch the elephant comprehensively to explain the situation – that everyones only got a partial information of the animal and that the creature's shape somehow need to be redraw by compiling all their perceptions – then the problem might be solved.

But how is to explain the psychological phenomenon experienced by people “play” Jastrow's figure especially those who might recognize firstly the picture as only a duck and not a rabbit, vise versa? It is still about pre-existing information though. However, since this psychological puzzle is assumed to be played by people who aware of the shape of a duck and a rabbit, the fact that many people might perceive the figure only as a duck or a rabbit leaves us to a big question mark.

Michael Statsny, the owner of Mahalanobis Blog, has an interesting theory.
Excerpting from the reading he proposes a constructivist point of view which says that selective perception – why does someone only recognize the duck and not the rabbit -- is driven by expectation, world-knowledge, and the direction of attention.

“For example, children tested on Easter Sunday are more likely to see the figure as a rabbit; if tested on a Sunday in October, they tend to see it as a duck or similar bird”.

A smart account I think. Even though, there are spaces left for practical explanations such as: to what side of the figure do you eyes concentrate the most, left side or right side?

Anyway, I like the theory in particular the conclusion part which says: “Jastrow used the duck-rabbit to make the point that perception is not just a product of the stimulus, but also of mental activity – that we see with the mind as well as the eye”. Just like what I am doing as a journalist.

Monday, July 24, 2006

Paralaks Teknologi

Jumat sore pekan lalu, pulang kerja, dua sepeda motor hampir menabrak saya di perempatan dekat kantor. Ketika itu lampu merah, dan seperti biasa saya ingin buru-buru menyeberang. Eh ada dua motor bablas. Baiknya dengan susah payah keduanya berhasil menghindari saya. Tapi belum putus umpatan mereka, hanya beberapa meter kemudian, keduanya nyaris diseruduk puluhan motor yang mulai bergerak dari arah berlawanan, hendak belok ke kanan. Beruntung, semua berhasil menginjak rem pada saatnya -- ditambah caci maki, tentu saja. Seperti saya, keduanya pun selamat.

Yang terjadi adalah: kedua motor itu masih sekitar 100 meter dari persimpangan ketika nyala lampu berganti dari hijau ke kuning. Bukannya memperlambat laju, gas malah mereka tancap makin dalam. Sekitar beberapa meter menjelang perempatan lampu berganti merah. Mereka tak bisa lagi menghentikan kendaraannya. Sementara saya, yang hanya berkonsentrasi pada lampu, lansung nyelonong.

Apa hendak dikata, bagi sebagian pengemudi lampu kuning kerap berarti "tancap gas," bukan "bersiap untuk berhenti". Ini bukan hal baru. Barang teknologi memang sering tidak berfungsi/digunakan sebagaimana "harusnya". Mobil misalnya. Konon benda ini diciptakan untuk mempercepat dan mempermudah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Benda ini kemudian disebut alat transportasi. Mobil juga, kemudian, menjadi ektensi dari gengsi dan kenyamanan. Tapi nyatanya, di Jakarta, hampir tidak ada mobil yang tak pernah terjebak macet. Bahkan ada yang sampai berjam-jam. Jam tangan lain lagi. Alat ini digagas untuk membantu pemiliknya mengelola waktu. Toh yang namanya "budaya" molor, tak hilang-hilang juga. Atau, coba perhatikan para anggota DPR RI yang sering bolos rapat meski semua agenda sudah terekam dalam ponsel mereka yang canggih. Contoh lain, trotoar yang dikreasi untuk memberi ruang bagi para pejalan kaki -- kini seolah sengaja disiapkan bagi para pedagang kaki lima. Dan seterusnya. Kalau disebut satu per satu, daftarnya pasti akan sangat panjang.

Kenapa (seolah-olah) ada begitu banyak paradoks dalam penggunaan teknologi?

Dalam dua bukunya: "Future Shock" dan "The Third Wafe" -- yang berbicarakan soal perkembangan kebudayaan yang memuncak pada teknologi -- Alfin Toffler sudah mengisyaratkan hal semacam ini akan terjadi. Alasannya, karena modernisasi atau adopsi teknologi (fisik) berlangsung sangat cepat, sementara adopsi kultur (nilai) berjalan lamban. Ketidaksinkronan ini lalu merangsang terjadinya "kejutan-kejutan" yangdia sebut dengan istilah future shock -- sebagian besarnya adalah kejutan budaya (culture shock).

Teori Toffler masuk akal karena dia, mengevaluasi perkembangan masyarakat dari sudut pandang teknologi: bahwa teknologi menentukan cara hidup masyarakat (technological determinism). Di sini teknologi bukanlah sekedar alat, tapi nilai yang menentukan pembentukan struktur masyarakat. Menurut cara pandang ini, para penyerobot lampu merah, pedagang di trotoar, atau pemilik jam tangan yang masih suka molor adalah orang "sakit" -- menderita simptom personality/cultural disorder. Perbuatan mereka dianggap sebagai penyimpangan yang secara masif bisa menyebabkan kegagalan sosial. Dengan lain kata, cara pandang ini: menggilakan banyak orang!

Tapi tak ada grand theory dalam wacana sosial. Berlawanan dengan pendekatan technological determinism, ada cara pandang lain yang lebih "membebaskan", yakni: social deteminism/social choice). Aliran ini meyakini, masyarkatlah yang menentukan bagaimana memperlakukan sebuah teknologi. Kalau pada aras technological determinism, buruh pabrik bekerja sampai malam karena ada lampu (penerangan), maka menurut pendekatan social choice listrik hanyalah wujud teknologis dari kehendak manusia untuk bisa bekerja lebih lama, termasuk di malam hari. Teknologi, dalam pendekatan ini, bebas nilai. Manusialah yang memberi dia nilai. Makna teknologi secara privat maupun kultural lalu tergantung kepada individu atau masyarakat. Contoh: kalau lampu kuning menandakan sebentar lagi akan merah sementara kalau memacu motor lebih cepat saya yakin bisa melewati perempat sepelum lampu menjadi merah -- kenapa harus memperlambat laju motor saya? Atau, bukan tidak mungkin para anggota Dewan memang sengaja membeli telpon genggam yang mahal agar bisa memasukan semua agenda mereka ke dalamnya, dan dengan demikian bisa menentukan kapan waktunya untuk bolos.

Pendekatan social choice, merelatifkan kesimpulan-kesimpulan yang dibuat dengan cara pandang technological determinism. Yang dianggap menderita personality atau culutural disorder tadi mungkin malah merupakan individu kreatif atau unik.

Persoalannya, saat ini penganut technological determinism tampaknya masih lebih banyak. Seorang teman saya -- termasuk orang kaya di Etiopia -- misalnya, sambil tertawa pernah bercerita tentang beberapa guru miskin dari pelosok di negaranya yang ketika pulang jalan-jalan dari Eropa, atas biaya sebuah NGO, membawa televisi. "Padahal di kampung mereka tidak ada listrik atau pun aki," ujarnya. Dia lupa bahwa di daerah-daerah miskin, memiliki televisi -- dibeli di Eropa lagi -- meski tak bisa berfungsi, adalah sumber esteem bagi pemiliknya.

Yang luar biasa adalah Film "The God Must Be Crazy." Dia menjadi sebuah komedi yang luar biasa -- dan karena itu sangat laris -- hanya karena sebagian besar kita terbiasa berpresepsi dalam aras technological determinism.

Thursday, July 20, 2006

Sarana Transport Kodok Tebu

Teknologi menurut Marshall McLuhan -- yang dikenal dengan teori Global Village -- adalah ekstensi dari kebudayaan manusia. Jalan, misalnya, ekstensi dari kebutuhan transportasi. Tapi di Australia, yang menggunakan jalan untuk bepergian ternyata bukan cuma manusia. Kodok Tebu (Bufo Marinus) pun melakukannya!

Fenomena ini ditemukan oleh Gregory Brown dan timnya dari University of Sydney, Australia. Kodok-kodok itu menggunakan jalan raya saat bermigrasi. Binatang-binatang amfibi yang mampu tumbuh hingga sebesar piring makan dengan berat sekitar 2 kg itu, berpindah saat makanan di suatu tempat habis. Mereka mampu bergerak sejauh kira-kira 48 km per tahun -- sebuah akselerasi yang sangat memukau bagi hewan tambun yang di Australia, kini, dimasukan dalam kategori hama (pest) itu. Menurut Brown dan teman-teman, "evolusi budaya" ini terjadi manakala kodok-kodok itu mengalami kesulitan menembus belukar yang rapat di padang-padang Australia.

Australia mengimport Kodok Tebu dari Hawai pada 1935. Mulanya untuk mengontrol populasi kumbang yang ketika itu sangat besar dan menyerang ladang-ladang tebu. Belakangan, ketika mangsa alami mereka mulai habis, mereka melahap yang lain-lain. Mereka juga berbahaya untuk binatang lain. Racun cair putih (bufotoxin) yang keluar dari punggung serta kepalanya, misalnya, mampu membunuh ular, keluarga kadal, bahkan anjing peliharaan. Itu sebabnya pemerintah Australia sangat ingin "mengontrol" populasi hewan ini. Celakanya, Kodok Tebu tidak punya predator alamiah. Tahun lalu pemerintah setempat berusaha menjebak hewan-hewan ini agar tidak berpindah menggunakan sinar ultraviolet tapi gagal.

Makanya penemuan baru ini disambut gembira di Australia: ada harapan baru bagi upaya mengontrol perkembangan Kodok Tebu. Caranya? Biarkan mereka di jalanan -- populasi mereka akan berkurang pelan-pelan karena mati terlindas kendaraan. Ya, masuk akal. Tapi, bagaimana ya kalau mereka kemudian belajar bahwa "bermain-main" di tengah jalan itu berbahya dan mulai tertib lalu-lintas: menggunakan tepi-tepi jalan atau trotoar sebagaimana lazimnya pejalan kaki?

Tuesday, July 18, 2006

When Man Bits A Dog

Ketika belajar jurnalistik di universitas, saya diperkenalkan dengan sebuah pameo yang sampai sekarang masih segar dalam ingatan: anjing gigit manusia bukan berita (kecuali yang digigit orang terkenal/terkemuka), tapi manusia gigit anjing itu berita. Saya sudah hampir lupa soal itu sampai membaca tentang Barry Knight (28) ini. Dia jadi berita gara-gara menggigit ekor dari tiga anak anjing miliknya yang baru lahir.

Pameo, jargon, mitos dan sejenisnya, biasanya lahir dari imaginasi kreatif yang kadang tak berhubungan dengan realitas -- meski dunia yang dibangun menggunakan simbol-simbol yang alami dan real. Tapi Si Barry yang "bukan siapa-siapa ini" telah menggenapi pameo yang sebenarnya telah mulai usang itu. Ada-ada saja.