Haltenya Philipus

Tuesday, May 30, 2006

5,9 Skala Richter?

Usai gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menelan korban jiwa lebih dari 5.000, beberapa kalangan mempersoalkan berapa besarkah guncangan itu dalam skala richter (SR)? Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mengatakan 5,9 SR, tapi United States Geological Survey mencatat bala pada Sabtu, 27 Mei, itu menggoyang dengan kekuatan 6,3 SR. Beberapa media, kemudian menambahkan: gempa itu berkekuatan 5,9 SR atau VI-VII pada Skala Modified Mercalli Intensity (MMI). Artinya? Ok. Ada kemungkinan telah terjadi goncangan yang lebih besar dari yang dicatat BMG. Tapi apa pentingnya angka-angka itu? Gempa dengan skala 6 SR dan VII MMI sering terjadi, paling tidak 200 kali per tahun dan di sebagian besar negara, itu tidak sampai menimbulkan kerusakan dan korban jiwa sebesar di Yogyakarta dan sekitarnya. Di Jepang dan California, misalnya. Jadi, apa artinya angka-angka itu?

Maka, saat termangu di depan televisi, mengik
uti berita dari waktu ke waktu tentang daerah di mana saya pernah tinggal lebih dari 10 tahun itu, saya lalu mempertanyakan kembali makna istilah-istilah itu. Ternyata, MMI tidak bisa diperbandingkan dengan SR. Skala MMI untuk gempa dengan SR tertentu, bisa berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Kemudian, saya menemukan penjelasan yang ini: VII MMI dan SR 6,0 dalam skala kerusakan berarti kerusakan kecil pada bangunan kokoh, tapi fatal bagi bangunan yang rapuh. Bangunan yang rapuh? Tiba-tiba saya jadi mengerti. Jangan-jangan, ini bukan soal besar kecilnya gempa, tapi kesiapan kita menghadapi fenomena alam itu.

Dalam sebuah milis yang saya ikuti, seorang teman mempersoalkan kenapa tidak ada tindakan preventif, padahal, sejak lama kita tahu sebagian besar wilayah Indonesia masuk dalam Ring of Fire dan Zona Subduksi-- rawan letusan gunung berapi ,gempa, hingga tsunami. Teman itu memaki-maki pemerintah. Tapi dia dibantah teman lain, yang mengatakan, tuntutan semacam itu berlebihan. Menurut dia, Indonesia, terlalu miskin untuk melakukan itu.

Sebelum ini, ketika mendengar kata preventif, yang selalu hadir dalam bayangan saya adalah sistem peringatan dini: sebuah teknologi deteksi gempa yang mahal tapi juga tak selalu berhasil. Mendengar kata itu sekarang -- setelah membaca yang dilakukan negara-negara lain menghadapi gempa -- saya jadi berpikir soal: kampanye membangun rumah anti gempa di daerah-daerah rawan, merancang managemen bencana yang rapi dan efisien serta, sosialisasi langkah-langkah mengamankan diri menghadapi peristiwa-peristiwa alam. Karena, ternyata, jalan paling baik untuk menghindar dari petaka dalam setiap peristiwa alam yang luar biasa adalah: selalu waspada untuk menyiasati saat-saat genting yang tak terduga itu. Ini yang dilakukan Jepang dan masyakarat California yang tinggal di sepanjang patahan San Andreas.

Banyak yang bisa kita dilakukan. Dan pasti tidak mahal, apalagi kalau dilakukan dengan semangat gotong-royong. Teknologi rumah anti gempa misalnya, kalau tak punya dana untuk riset sendiri, kita bisa memanfaatkan temuan negara-negara lain dengan sedikit modifikasi. Kita juga, misalnya, bisa mencontoh metode Federal Emergency Management Agency mensosialisasikan kepada anak-anak cara-cara menghadapi bahaya. BMG sendiri dalam situsnya sebenarnya memberikan tips menghadapi gempa
. Cuma, saya tidak tahu apakah ini efektif mengingat sangat sedikit orang Indonesia yang bisa mengakses Internet, dan lebih sedikit lagi yang peduli dengan situs BMG. Akan lebih mudah, murah, dan efektif jika, misalnya, semua aparat pemerintah hingga level RT/RW dikerahkan untuk mengkomunikasikan tips-tips itu secara langsung kepada warga. Juga di sekolah-sekolah. Apalagi, kalau media-media, terutama televisi mau menyumbang beberapa detik jam tayangnya untuk secara kontinyu mengingatkan masyarakat agar selalu waspada.

Gagasan seperti ini sebenarnya sudah berkali-kali diutarakan (ini contohnya) oleh banyak orang dan disiarkan oleh berbagai media. Tapi selalu seperti ini: digagas, mendapat perhatian, didiskusikan, macam-macam janji, lalu dilupakan. Berita-berita aneh seperti: bantuan menumpuk tapi korban kelaparan, misalnya, menjadi rutin setiap ada bencana. Seolah, ada template untuk berita semacam itu -- tinggal mengganti tanggal, tempat, dan nama. Ironis!

Mungkin suda saatnya gempa di Indonesia kita catat demikian: (1) Gempa Flores, 12 Desember 1992, Skala 2.500 jiwa; (2) Gempa Aceh-Nias 26 Desember 2004, Skala > 200 ribu jiiwa; (3) Gempa Yogya
-Jateng, 27 Mei 2006, Skala > 5.000 jiwa. Ini barangkali gagasan gila. Lebih penting mengingat korban catastropi karena kelalaian kita daripada angka-angka seperti 5,9 SR atau VII MMI. Tentu saja dengan harapan ini akhirnya menjadi sebuah kampanye untuk mengingatkan bahwa: ada yang perlu kita perbuat, segera, sebelum gempa besar yang lain tiba.

Friday, May 26, 2006

Flu Burung, Oh

Lagi, bersaudara dalam keluarga meninggal karena flu burung. Kali ini dua bersaudara -- pria 18 tahun dan perempuan 10 tahun -- menghembuskan nafas terakhir di RS Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat. Sebelumnya, tujuh bersaudara di Tanah Karo, Sumatera Utara, pun diketahui meninggal karena virus H5N1 ini. Peristiwa-peristiwa ini dan beberapa sebelumnya menguatkan dugaan bahwa virus yang sejatinya milik burung ini kini mulai ditularkan antar manusia. Belum ada uji laboratorium yang membuktikan kekuatiran ini, tetapi para ahli sepakat ini mungkin: ketika virus berbahaya akhirnya berhasil "belajar" mengikat gula dalam darah manusia!

Bukankah ini mengerikan? Saya teringat pelajaran sejarah di SMP tentang meninggalnya lebih dari 100 ribu orang di London, Inggris, pada 1600-an, peristiwa yang dikenang sebagai Black Death. Kita belum sampai ke sana (mudah-mudahan tidak). Sejauh ini baru 124 orang sedunia yang meninggal karena virus ini (termasuk 33 di Indonesia). Cuma saya tergoda untuk bertanya: sampai di mana kemanusiaan kita bisa bertahan dalam rasionalitas jika wabah yang ditakutkan itu benar-benar terjadi? Albert Camus dalam novelnya La Peste (Sampar-diterjemahkan Nh. Dini), soal pes di Oran, Aljazair --- yang telah "membunuh" kota itu -- coba memberikan jawaban dalam perspektif absurditas, ketika manusia terjebak dalam situasi di mana irasionalitas tak terelakan. Ada tiga pilihan: bunuh diri, bertahan hidup sambil berusaha untuk melakukan sesuatu yang berati -- paling tidak untuk diri sendiri atau, pasrah.

Thursday, May 25, 2006

What hath God Wrought?


Pada 24 Mei 162 tahun lalu, Samuel Finley Breese Morse untuk pertama kalinya mengirimkan pesan telegram dari Washington DC ke Baltimore melalui sebuah jalur uji coba. Pesan yang konon dipilihkan oleh Annie Ellworth -- anak sahabatnya -- dari Injil itu berbunyi: "What hath God wrought?".

Morse bukanlah yang pertama menemukan teknologi electrical telegraph, tapi kode morse yang dikembangkan oleh asistennya Alfred Vail, telah mengefektifkan kegunaan temuan ini. Dan, seperti yang kita tahu, sejak jaringan telegram transatlantik mulai dioperasikan pada 1866, tiba-tiba dunia menjadi lebih sempit. Era global dimulai. Perdagangan rempah-rempah, misalnya, jadi lebih bergairah. Para pedagang di Eropa tidak perlu lagi menunggu kabar dari pelaut untuk mengetahui kedatangan kapal rempah-rempah dari daerah-daerah koloni.

Telegram telah mengawali sebuah era baru telekomunikasi yang ikut membentuk sebuah tata dunia baru di mana jarak jadi kian relatif, waktu berputar lebih cepat, dan ruang terasa kian tak berbatas. Sayangnya, sejarah mencatat, hanya mereka yang punya akses dan menguasai teknologi baru ini yang mendapatkan keuntungan berlimpah. Yang tidak, sebaliknya, terpuruk jadi objek yang dari saat ke saat terus terpinggirkan!

Ah, "What hath God wrought?"