Friday, March 09, 2007

Media, Jadilah Fasilitator yang Cerdas

Beberapa waktu lalu ada opini di Kompas tentang Argumentasi dalam Komunikasi Politik, sepertinya ditulis oleh seorang kerabat saya. Opini ini menarik, cuma belum menyentuh sisi media. Sebagai orang yang bergelut di media saya mencoba sisi yang lepas dari opini itu. Tentu saja dengan tetap menggunakan gagasan validity claim-nya Habermas. Dan karena tulisan ini dibuat kira-kira dua minggu lalu, mohon maaf kalau ada klaim yang sudah tak valid lagi.

Secara khusus saya ingin menelaah debat terbuka di media massa yang cukup menghebohkan antara Menteri Sekretaris Kabinet, Yusril Izha Mahendra, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kalau dalam debat antara Hariman cs. vs pemerintah kedua pihak gagal mendukung klaimnya dengan data serta bukti valid yang cukup -- mungkin karena term 'keberhasilan' dan 'kegagalan' pembangunan cukup abstrak dan multi tafsir, atau karena mereka cuma peduli pada kepentingan pribadinya sehingga tak ada landasan pijak yang sama untuk berlaku objetif -- maka, debat Yusril vs KPK cukup rasional. Mungkin karena menyangkut hukum, mau tidak mau, sengaja tidak sengaja, keduanya masuk ke dalam pertarungan validitas klaim.

Memeriksa validitas klaim lawan debat merupakan strategi normal dalam sebuah debat di ruang publik (public sphere) yang mengandalkan argumentasi-argumentasi rasional. Menurut Jurgen Habermas (The Theory of Communcative Action, 1984) ada tiga macam klaim yang selalu menjadi objek debat: fakta, moral, dan kredibilitas.

Dalam terang klaim validitas ini, debat publik menjadi ruang terbuka bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menyatakan kepada publik sejauh mana dia benar, bukan saja secara material tetapi juga moral dan kredibilitas.

Debat Yusril vs KPK misalnya. Yusril masih kukuh bahwa penunjukkan langsung oleh Departemen Hukum dan HAM dalam pengadakan sistem identifikasi berbasis sidik jari pada 2004 – ketika itu dia masih menjabat sebagai menteri Hukum dan HAM – tidak salah. Pasal 17 Keputusan Presiden Nomor 80 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah toh membolehkan penunjukkan langsung dalam situasi-situasi khusus. Apalagi, menurut Yusril, KPK juga melakukan hal yang sama dalam pengadaan alat penyadap.

KPK sebaliknya bersikukuh ada masalah dalam pengadaan alat identifikasi itu. Antara lain, mereka menemukan adanya kick back sejumlah Rp 375 juta dari rekanan kepada pejabat departemen. KPK juga menolak menyamakan itu dengan pengadaan alat sadap milik mereka pada 2005. Sama-sama penunjukkan langsung namun KPK mengklaim di tempat mereka tidak terjadi penggelembungan dana dan suap. Mereka juga mendapatkan izin tertulis dari presiden yang suratnya ditandatangani Yusril selaku Mensekneg.

Argumentasi hukum masing-masing pihak cukup kuat, mesti tetap masih ada hal yang perlu diperjelas: apakah Yusril dan KPK sudah memenuhi prasyarat untuk melakukan penunjukkan langsung?Apakah ijin dari presiden cukup kuat secara yuridis untuk menjadi dasar bagi penunjukkan langsung?

Yang belum sepenuhnya terungkap adalah klaim moral dan kredibilitas berkaitan penunjukkan langsung di kedua lembaga. Ada kemungkinan kedua pihak akan menghindari perdebatan tentang hal ini. Tapi di sinilah media menjadi penting.

Sebagai fasilitator debat publik media harus mampu mempersoalkan klaim moral dan kredibilitas para pihak tersebut. Yusril misalnya, perlu ditanyai: apakah dia tidak merasa bersalah melakukan penunjukkan yang merugikan negara hingga Rp 6 miliar itu? Kenapa dia seperti hendak membela bawahanya yang menurut KPK terbukti menerima uang suap? Kalau dia merasa KPK melanggar hukum kenapa baru dia adukan sekarang, setelah dirinya diperiksa, sehingga kesannya pengaduan tersebut hanya tawar-menawar hukum? Demikian pula KPK: sebagai lembaga anti korupsi mereka tahu ada indikasi korupsi dalam penunjukkan langsung, kok dilakukan juga? Setelah mereka sendiri pun mengabaikan tender, apakah masih merasa punya wewenang – paling tidak secara moral – untuk menghakimi penunjukkan langsung oleh pihak lain?

Klaim moral dan kredibilitas tidak akan membuat seorang menjadi benar atau salah di hadapan hukum, tapi bisa menjadi pegangan bagi publik untuk menilai kualitas para pemimpinnya: sejauh mana mereka peduli terhadap kepentingan rakyat dan sampai batas mana mereka bisa dipercaya.

Akhirnya, lepas dari kasus Yusril vs KPK, ekspos media terhadap argumentasi yang rasional di antara para elit amatlah penting bagi proses belajar masyarakat, terutama untuk menentukan apakah seseorang pantas menjadi pemimpin atau tidak. Wawasan ini sangat berguna ketika rakyat melakukan hak politiknya yang hanya sekali dalam lima tahun. Syukur-syukur, proses ini juga bisa membuat para elit terlilit retorikanya sendiri dan terjebak secara moral (rhetorical entrapment) untuk berbuat sebagaimana kata-kata mereka kepada publik.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home