Haltenya Philipus

Friday, March 23, 2007

Virtual World, Real Problems

Still familiar with this old Indonesian proverb: “Kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina sekali pun?” Today, because of the Internet – the golden boy of information technology – students no need to travel far away for finding a better education. Only by sitting quietly in her studying table, a child can learn almost all kinds of knowledge that exist.

The powerful virtue of the Internet encouraged the authorities of South-East Asia Ministers of Education Organization forum (SEAMEO) who gathered in Bali, March 13-14, to agree for an action of integrating communication and information technologies in to education world

The agreement by all means is not a new approach in the field of education. The USA, a leading country in Internet technology, for example, has been conducted an aggressive campaign for computer and Internet using in classroom since eleven years ago, and now days about 98% of public schools in there have some kinds of Internet access for students.

A survey conducted during November and December 2000 by Pew Internet, found that 94% of the USA youths (ages between 12-17) use the Internet for school researches and some 78% believe that the Internet helps them with schoolworks. It was supported by 87% of the youth parents which believe that the Internet helps their children to doing better in school.

However, we should also aware that the wonderful “gift” of information technology -- the virtual world of the Internet -- at the same time also bring new problems to our real world. There are many reports about harmful effects of Internet using from economical fraudulences to sexual abuses especially to children.

So the Internet generates real moral problems, which been the long time concern of international community including the United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). In their new publication: “Ethical Implications of Emerging Technologies: A Survey”, a book prepared by Mary Rundle and Christ Conley, UNESCO reminds international communities of the morally unwanted implications of using information technologies, which interestingly launched in Paris only a day before the Bali's meeting.
“Lacking the time for lengthly reflection,” writes Abdul Waheed Khan, Assistant Director-General for Communication and Information, UNESCO, in Forward, “the international community is often faced with immediate policy choices that carry serious moral and ethical consequences”.
According to USA Today, in the USA the Internet has been a tool using by children and teenagers for insulting or being insulted by others. “The damage can be devastating, psychologists say, even as it is not always obvious to parents and teachers,” writes the paper. MindOh Foundation, an e-learning company for kids who have trouble in school, found that number of bullies and victim in the USA could reach 5,502 in every month during the year of 2005.

Similar problem prevails here in Indonesia as well as in another South-East Asia countries. Want to see a nude Indonesian student photograph? Wanna have hot chat with Indonesian teens? Go surfing to the Internet!

In reaction, some countries have enacted laws or regulations including ones that protecting children from virtual sexual abusers especially pedophiles. But many others like Indonesia, haven't. Even in America, Child Pornography Prevention Act 1996, which bans computer-generated sexual images of children, was overthrown by the US Supreme Court in 2002. And just yesterday in Philadelphia, a federal judge also “killed” a 1998 law that protecting children from “harmful” material provided by commercial Websites.

Basically, every societies have its own philosophical standards and norms in dealing with problems that emerging in any circumstances. Its difficult to make an apple to apple comparison of the policies make by countries on this subject. However, when the problems are real and globally occurs, we cannot help not to ask similar questions in approaching them.

Thus, regarding decision for using information technology in education world, here is a question for Indonesian and the other governments of South-East Asian countries to answer: should we give everyone freedom to do everything in the virtual world, or regulated them? Or, in term of technology, quoting Abdul Waheed Khan words:
“(Should we) let technology develop as it will or attempt to programme machines to safeguard human rights?”
What ever the choices will be, just remember that our children entitle to have a better and healthy living and learning environment.

Friday, March 09, 2007

Media, Jadilah Fasilitator yang Cerdas

Beberapa waktu lalu ada opini di Kompas tentang Argumentasi dalam Komunikasi Politik, sepertinya ditulis oleh seorang kerabat saya. Opini ini menarik, cuma belum menyentuh sisi media. Sebagai orang yang bergelut di media saya mencoba sisi yang lepas dari opini itu. Tentu saja dengan tetap menggunakan gagasan validity claim-nya Habermas. Dan karena tulisan ini dibuat kira-kira dua minggu lalu, mohon maaf kalau ada klaim yang sudah tak valid lagi.

Secara khusus saya ingin menelaah debat terbuka di media massa yang cukup menghebohkan antara Menteri Sekretaris Kabinet, Yusril Izha Mahendra, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kalau dalam debat antara Hariman cs. vs pemerintah kedua pihak gagal mendukung klaimnya dengan data serta bukti valid yang cukup -- mungkin karena term 'keberhasilan' dan 'kegagalan' pembangunan cukup abstrak dan multi tafsir, atau karena mereka cuma peduli pada kepentingan pribadinya sehingga tak ada landasan pijak yang sama untuk berlaku objetif -- maka, debat Yusril vs KPK cukup rasional. Mungkin karena menyangkut hukum, mau tidak mau, sengaja tidak sengaja, keduanya masuk ke dalam pertarungan validitas klaim.

Memeriksa validitas klaim lawan debat merupakan strategi normal dalam sebuah debat di ruang publik (public sphere) yang mengandalkan argumentasi-argumentasi rasional. Menurut Jurgen Habermas (The Theory of Communcative Action, 1984) ada tiga macam klaim yang selalu menjadi objek debat: fakta, moral, dan kredibilitas.

Dalam terang klaim validitas ini, debat publik menjadi ruang terbuka bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menyatakan kepada publik sejauh mana dia benar, bukan saja secara material tetapi juga moral dan kredibilitas.

Debat Yusril vs KPK misalnya. Yusril masih kukuh bahwa penunjukkan langsung oleh Departemen Hukum dan HAM dalam pengadakan sistem identifikasi berbasis sidik jari pada 2004 – ketika itu dia masih menjabat sebagai menteri Hukum dan HAM – tidak salah. Pasal 17 Keputusan Presiden Nomor 80 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah toh membolehkan penunjukkan langsung dalam situasi-situasi khusus. Apalagi, menurut Yusril, KPK juga melakukan hal yang sama dalam pengadaan alat penyadap.

KPK sebaliknya bersikukuh ada masalah dalam pengadaan alat identifikasi itu. Antara lain, mereka menemukan adanya kick back sejumlah Rp 375 juta dari rekanan kepada pejabat departemen. KPK juga menolak menyamakan itu dengan pengadaan alat sadap milik mereka pada 2005. Sama-sama penunjukkan langsung namun KPK mengklaim di tempat mereka tidak terjadi penggelembungan dana dan suap. Mereka juga mendapatkan izin tertulis dari presiden yang suratnya ditandatangani Yusril selaku Mensekneg.

Argumentasi hukum masing-masing pihak cukup kuat, mesti tetap masih ada hal yang perlu diperjelas: apakah Yusril dan KPK sudah memenuhi prasyarat untuk melakukan penunjukkan langsung?Apakah ijin dari presiden cukup kuat secara yuridis untuk menjadi dasar bagi penunjukkan langsung?

Yang belum sepenuhnya terungkap adalah klaim moral dan kredibilitas berkaitan penunjukkan langsung di kedua lembaga. Ada kemungkinan kedua pihak akan menghindari perdebatan tentang hal ini. Tapi di sinilah media menjadi penting.

Sebagai fasilitator debat publik media harus mampu mempersoalkan klaim moral dan kredibilitas para pihak tersebut. Yusril misalnya, perlu ditanyai: apakah dia tidak merasa bersalah melakukan penunjukkan yang merugikan negara hingga Rp 6 miliar itu? Kenapa dia seperti hendak membela bawahanya yang menurut KPK terbukti menerima uang suap? Kalau dia merasa KPK melanggar hukum kenapa baru dia adukan sekarang, setelah dirinya diperiksa, sehingga kesannya pengaduan tersebut hanya tawar-menawar hukum? Demikian pula KPK: sebagai lembaga anti korupsi mereka tahu ada indikasi korupsi dalam penunjukkan langsung, kok dilakukan juga? Setelah mereka sendiri pun mengabaikan tender, apakah masih merasa punya wewenang – paling tidak secara moral – untuk menghakimi penunjukkan langsung oleh pihak lain?

Klaim moral dan kredibilitas tidak akan membuat seorang menjadi benar atau salah di hadapan hukum, tapi bisa menjadi pegangan bagi publik untuk menilai kualitas para pemimpinnya: sejauh mana mereka peduli terhadap kepentingan rakyat dan sampai batas mana mereka bisa dipercaya.

Akhirnya, lepas dari kasus Yusril vs KPK, ekspos media terhadap argumentasi yang rasional di antara para elit amatlah penting bagi proses belajar masyarakat, terutama untuk menentukan apakah seseorang pantas menjadi pemimpin atau tidak. Wawasan ini sangat berguna ketika rakyat melakukan hak politiknya yang hanya sekali dalam lima tahun. Syukur-syukur, proses ini juga bisa membuat para elit terlilit retorikanya sendiri dan terjebak secara moral (rhetorical entrapment) untuk berbuat sebagaimana kata-kata mereka kepada publik.