Haltenya Philipus

Saturday, June 24, 2006

Kelaparan, Media, dan Demokrasi

Daerah-daerah marginal, kata Johan Galtung dalam bukunya Global Glasnot (1992), mendapatkan tempat di halaman atau jam tayang media hanya kalau sesuatu yang buruk terjadi di sana. Semakin negatif peristiwa itu, semakin berpeluang dia menjadi berita. Galtung benar. Sikka misalnya. Seingat saya dalam 25 tahun terakhir, baru dua kali tanah kelahiran saya di ujung selatan Nusa Tenggara itu mendapatkan tempat berarti di media: ketika gempa dan tsunami yang membunuh lebih dari 2.500 orang pada 1992, dan baru-baru ini, di saat gagal panen pertanian monokultur menyebabkan sebagian masyarakat di Kecamantan Kewapante kekurangan pangan.

Model pemberitaan yang berpusapat pada elit adalah praktek normal dalam jurnalisme modern. Bahkan di tingkat lokal pun media massa modern sering gagal memberikan ruang lebih kepada komunitas basis --- setiap individu dalam masyarakat di mana setiap ke(tidak)bijakan menjadi riil. Bukannya tidak ada model tandingan. Ada. Beberapa orang menamakannya (community) development journalism. Sayangnya jurnalisme model ini tidak begitu populer. Pertarungan- pertarungan kepentingan di ruang publik, kerap, membuat media yang secara filosofis digagas sebagai pilar demokrasi justru tidak populis.

Tapi okelah. Apa pun itu, saya masih bersyukur bahwa masih ada "jalur" bagi daerah maupun orang-orang pinggiran untuk mendapat tempat dalam pemberitaan media. Meskipun, seperti kata Galtung, hanya pada peristiwa-peristiwa buruk yang luar biasa. Pada akhirnya minimalis, memang, tapi ini menjadi berati ketika masyarakat lokal menghadapi katastropi yang hanya bisa ditanggulangi oleh sebuah solidaritas yang luas.

Amartya Sen, peraih nobel ekonomi 1998, punya tesis yang amat penting tentang kaitan antara kelaparan, media, dan demokrasi. "Kelaparan," katanya, "adalah keadaan di mana sebagian orang tak memiliki cukup makanan untuk dikonsumsi. Bukan situasi di mana tidak ada cukup makanan untuk dimakan." Tesis ini membantah anggapan umum (common sense) bahwa kelaparan massal disebabkan oleh kekurangan makanan.

Dalam sebuah studi tentang kelaparan di Bengal, India, pada 1943 misalnya, Sen menemukan data yang mencengangkan: produksi bahan makanan di sana pada tahun itu sama sekali tidak lebih rendah dibanding tahun 1941, di mana tidak ada kelaparan. Lalu mengapa terjadi kelaparan? Ternyata, menurut Sen, itu disebabkan oleh daya beli para pekerja tani yang menurun sebagai akibat dari inflasi di Calcutta pada 1942 yang tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan. Kemiskinan pula yang -- menurut Sen dalam bukunya Resourses, Values, and Democracy (1984) -- membuat sepertiga penduduk India berangkat tidur dengan perut kosong, setiap malam, meski ketika itu India tak kekurangan makanan!

Contoh lain yang paling jelas adalah kelaparan yang menyebabkan hingga 100 ribu orang meninggal di Banglades pada 1974. Ketika itu terjadi banjir yang menyebabkan banyak sawah rusak, sementara pada saat yang bersamaan harga beras dunia naik. Akal sehat lalu menyimpulkan: ya itu karena gagal panen. Ironisnya -- seperti ditunjukkan Amartya Sen dalam salah satu kuliahnya di London pada Agustus 1990 -- justru pada tahun itu produksi bahan makanan di Banglades mencapai puncaknya, dibanding tahun-tahun lain dalam periode 1971-1976. Mengapa? Itu tadi, kemiskinan di satu sisi dan ketidakpedulian di sisi lain. Mengenai ini, dalam Poverty and Famine (1981), Sen antara lain menulis:
"A food-centred view tells us rather little about starvation. It does not tell us how starvation can develop even without declines in food availability. Nor does it tell us -- even when stravation is accompanied by a fall in the food supply -- why some groups had to starve while others could feed themselves...What allows one group rahter than another to get hold of the food that is there?"
Dalam konteks inilah media dan demokrasi menjadi penting. Seperti, lagi-lagi yang ditunjukan oleh Sen. Penelitiannya menemukan: tak ada kelaparan sepajang sejarah di negara yang menjalankan praktek demokrasi secara benar dan yang memiliki pers yang berfungsi secara baik dalam menyuarakan persoalan-persoalan masyarakat -- tak jadi soal apakah itu di negara kaya seperti Eropa Barat dan Amerika Utara, atau di negara-negara miskin seperti India paska kemerdekaan, Botswana, atau Zimbabwe.

Penelitian Timothy Besley dan Robin Burgess atas teori Sen yang disajikan dalam artikel: The Political Economy of Government Responsivenes: Theory and Evidence from India (Desember, 2000), menemukan beberapa fakta menarik:
1. Setiap kenaikan satu persen dari sirkulasi surat kabar berkolerasi dengan kenaikan 2,4 persen distribusi makanan dan kenaikan 5,5 persen dari pembelanjaan untuk menangani bencana.
2. Semakin tinggi kompetisi politik berkolerasi dengan semakin tingginya prosentasi distribusi makanan. Level distribusi makanan meningkat pada tahun menjelang dan saat pemilu.
3. Pemerintah ternyata sangat responsif terhadap pemberitaan di negara yang sirkulasi surat kabarnya tinggi. Distribusi makanan serta dana bencana dari pemerintah lebih tinggi di negara dengan sirkulasi surat kabarnya tinggi.
Maka, lagi-lagi, sebagai orang Sikka, saya mensyukuri perhatian media terhadap kelaparan di sana. Tentu saja dengan keyakinan, dunia akan menjadi lebih baik jika berbagai masalah sosial yang nyata semakin mendapat tempat dalam pemberitaan main stream media.

Tuesday, June 13, 2006

Kriteria Rumah Rusak

Apa beda antara kata "rumah": yang diucapkan atau ditulis, dengan "rumah": yang dibangun di atas tanah berlantai, berdinding, dan beratap? Jawabnya mudah: yang satu verbal lainnya riil; yang satu adanya cuma di televisi, koran, kertas kerja, lainnya bisa kita tinggali, tempat berlindung dari panas dan hujan; yang satu penanda yang lainnya tanda. Dalam kenyataannya, penandalah yang berjasa menghadirkan dunia riil ke dalam kesadaran kita -- terutama manakala tanda-tanda hadir dalam sebuah ruang yang begitu luas sehingga kita tak mungkin bisa mengalami, melihat, membandingkannya secara personal secara bersamaan.

Itu sebabnya, banyak penanda yang hanya menjadi abstraksi dari realitas yang luas. Di Indonesia hidup banyak orang. Ada saya, keluarga saya, tetangga dekat yang saya kenal dengan baik, tapi ada juga orang-orang lain di Jakarta, di mana-mana, bahkan ditempat yang saya tak pernah dengar namanya. Daripada susah mengurutkan, mengumpulkan, dan mengenal mereka satu per satu, lebih mudah menyebut mereka: penduduk atau masyarakat Indonesia. Sederhana.

Salah satu model yang paling popular dari abstraksi adalah apa yang kita kenal sebagai kriteria, ciri-ciri, dan syarat. Gagasannya sederhana: okelah, jika tidak bisa berjumpa dan memahami setiap tanda secara personal dan bersamaan karena ruang yang harus kita pahami terlalu luas, paling tidak kita punya perangkat untuk memastikan bahwa tanda di satu tempat dan di tempat yang lain sama, hampir sama, atau sama sekali berbeda. Itulah yang kini dilakukan oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta berkaitan dengan rencana memugar rumah-rumah yang rusak di wilayah itu.

Tentu saja pemerintah DI Yogyakarta tidak salah. Soalnya, kebijakan pemerintah memang yang (hampir) selalu popular: dibuat dalam bentuk yang abstrak, umum, tapi implikasinya personal. Dan kalau soal kriteria rumah rusak ini saya catat di sini, itu bukan karena tidak setuju dengan langkah tersebut. Cuma, barangkali, kita perlu selalu berhati-hati. Soalnya --paling tidak menurut saya -- dunia abstrak adalah dunia tersendiri yang kita bangun untuk membantu memahami dunia riil, yang celakanya adalah sebuah dunia yang kita bayangkan seragam!

Friday, June 09, 2006

Barefoot Journalists

Suatu ketika Michael Rowles, dosen Political Journalism di University of Leeds, United Kingdom, mengajukan pertanyaan ini: "Menurut anda, apa yang menjadi pokok liputan jurnalisme politik?" Teman dari India menjawab, itu masalah perebutan kekuasaan. Rekan lain yang bekerja sebagai humas sebuah perusahaan minyak di Rusia mengatakan, itu tentang program-program pemerintah. Teman duduk saya, seorang jurnalis Cina lain lagi, itu soal partai katanya. Saya sendiri menjawab, itu menyangkut hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. "Saya punya pendapat lain. Anda boleh tidak setuju," ujar Rowles kemudian. "Menurut saya jurnalisme politik menyoroti implikasi riil dari setiap ke(tidak)bijakan pemerintah atas setiap warga negara."

Banyak yang tidak sepakat dengan Rowles. Soalnya, itu langsung menohok model pongelolaan berita yang lazim dilakukan saat ini, termasuk prinsip-prinsip pragmatis media. "Media harus menulis tentang masyarakat biasa yang tak banyak dikenal dan, barangkali, juga tak punya uang buat beli koran? Yang benar saja! Media harus dijual bung. Dan harus ada yang mau pasang iklan," ujar seorang teman ketika berdiskusi setelah kelas usai. "Cerita tentang seorang gelandangan yang hampir mati kelaparan -- di mana-mana gelandangan selalu kelaparan --- dan tentang, katakanlah, Michael Owen yang keracunan makanan, mana yang lebih menarik?"

Rowles, menurut saya, tidak salah. Kalau, konsep tentang media massa sebagai pilar demokrasi yang melayani kepentingan rakyat -- atas nama rakyatlah jurnalis mendapatkan banyak hak khusus -- belum berubah. Tapi, argumentasi berbasis kepentingan bisnis dan politik media tak bisa dibilang salah. Kalau tak ada yang beli, tak ada yang mau pasang iklan, tidak "selamat" secara politis, bagaimana media bisa bertahan hidup?

Praktek jurnalisme modern pada akhirnya minus malum -- tidak lebih dari kompromi antara banyak kepentingan. Tapi benarkah tidak ada jurnalis yang berdiri tegak di atas idealisme ala Rowles, meski secara ekonomi dan politik kurang beruntung? Tenyata mereka ada. Arjun Banjade, dosen di Tribhuvan Universtiy, Kathmandu, Nepal, menamakan mereka barefoot journalists. Dalam artikelnya "Gaunle Deurali: Barefoot Community Journalism in Western Nepal" dia menulis:

"The newspaper, a product of barefoot journalism, is used as a platform for local leaders and villagers to express what is important to them rather than being a channel for the government or political elite to push their agenda."

Dia menambahkan, barefoot journalism adalah alternatif yang memberdayakan di tengah-tengah praktek jurnalisme di negara-negara Dunia Ketiga yang bermasalah: sangat bergantung kepada official sources.

"...the journalist...should critically evaluate and report the relevance of a development project; ... the difference between the planned scheme and its actual implementation; and the difference between its impact on people as claimed by government officials and as it actually is."

Tentu saja Banjade tak sepenuhnya benar. Dia mungkin belum membaca buku Noam Chomsky dan Edward Herman, Manufacturing Consent (1989), yang jelas menunjukkan bahwa praktek tersebut juga jamak di Amerika. Praktek itu bahkan menjadi salah satu sebab utama media-media besar di sana tak sepenuhnya independen. Toh itu cuma "kekeliruan" kecil. Lupakan. Bagaimana pun Banjade berhasil menguak persoalan klasik: "perang" antara idealisme dan pragmatisme dalam jurnalisme.


Mengutip Aggrawala NK, dia menuliskan kritik ini:

Apa boleh buat, audiens et proclamans bagi jurnalis ternyata bukan perkara sederhana. Ada jalan mudah, ada jalan sulit. Apalagi, sering terjadi, siapa yang harus didengarkan (audiens) dan kepada siapa berita diwartakan (proclamans) tidak merupakan pilihan personal.

Friday, June 02, 2006

Noam Chomsky


Failed State. Tidak banyak cerdik-pandai Amerika yang mau dan berani menyebut negaranya sendiri seperti itu. Noam Chomsky melakukannya. Profesor linguistik dari Massachusetts Institute of Technology ini mengatakan itu dalam buku terbarunya: "Failed State: The Abuse of Power and the Assault on Democracy" (2006). Chomsky mengeritik tingkah-laku pemerintahnya yang: lain di bibir lain perbuatan. Bukan hanya soal politik luar negeri -- dari preemptive war dengan doktrin menyerang sebelum diserang -- tapi juga dalam negeri. Kegagalan politik domestik, dalam buku itu disebut Chomsky democratic deficit, yakni, adanya jurang yang sangat lebar antara ke(tidak)bijakan publik dan opini publik. Dalam wawancaranya dengan Amy Goodman, dia antara lain mengatakan:

"...The United States has become a leading rogue state. Surely it's a terrorist state under its own definition of international terrorism, not only carrying out violent terrorist acts and supporting them, but even radically violating the so-called "Bush Doctrine," that a state that harbors terrorists is a terrorist state."


Banyak orang Amerika tidak suka kepada Chomsky terutama politikus dan akademisi pro-pemerintah. Sayangnya, lebih banyak orang yang angkat topi buatnya. Polling majalah Prospect and Foreign Policy di Amerika belum lama ini, misalnya, memilih dia sebagai "the world's number one intellectual". The New York Times menyebutnya "arguably the most important intellectual alive". Dan menurut The Boston Globe dia adalah "America's most useful citizen".

Saya sendiri suka membaca tulisan Chomsky. Karena bergelut di bidang jurnalistik, karyanya yang paling memukau saya, tentu saja, "Manufacturing Consent" (1989), hasil kolaborasinya dengan Edward Herman. Di situ mereka bilang, karena menganggap masyarakat sebagai bewildered mass yang tidak mengerti apa yang penting bagi mereka, para elit meraasa perlu "menunjukkan jalan" -- antara lain dengan mengontrol media.

Arundhati Roy, penulis India yang di sini dikenal melalui bukunya "The God of Small Things" (1997), dalam pengantar bukunya yang lain "War Talk" (2003), menuliskan kekagumannya kepada Chomsky dan beberapa penulis lain seperti John Pilger. Pemenang penghargaan buku yang paling bergengsi di Inggris, Booker Connell Prize 1997, untuk kategori novel ini, menilai Chomsky berjasa menguak sisi dari realitas yang tak pernah mau disentuh banyak penulis lain. Saya sepakat. Ketika nasionalisme cenderung diterjemahkan sebagai semangat right or wrong is my country, kehadiran orang-orang seperti Chomsky dibutuhkan untuk menunjukkan: pada titik-titik mana saja kita (mungkin) telah menyimpang --- dan, karena itu, perlu segera diluruskan. Atau seperti kata Paul Krugman yang disarikan dalam edisi terbaru majalah International Monetary Fund, Finance and Development:

"The role of public intellectuals is less to come up with good ideas...but more to serve as a watchdog to get rid of bad ideas and prevent their coming back."

Banyak resensi mengatakan Failed State bukan karya terbaik Chomsky. Barangkali ya. Tapi saya tetap percaya buku ini dan buku lain sejenis -- misalnya karya John Pilger tentang negaranya Australia, "A Secret Country" (1989) -- seharusnya secara positif menjadi cermin bagi masyarakat dan para pengambil keputusan di masing-masing negara.