Friday, June 02, 2006

Noam Chomsky


Failed State. Tidak banyak cerdik-pandai Amerika yang mau dan berani menyebut negaranya sendiri seperti itu. Noam Chomsky melakukannya. Profesor linguistik dari Massachusetts Institute of Technology ini mengatakan itu dalam buku terbarunya: "Failed State: The Abuse of Power and the Assault on Democracy" (2006). Chomsky mengeritik tingkah-laku pemerintahnya yang: lain di bibir lain perbuatan. Bukan hanya soal politik luar negeri -- dari preemptive war dengan doktrin menyerang sebelum diserang -- tapi juga dalam negeri. Kegagalan politik domestik, dalam buku itu disebut Chomsky democratic deficit, yakni, adanya jurang yang sangat lebar antara ke(tidak)bijakan publik dan opini publik. Dalam wawancaranya dengan Amy Goodman, dia antara lain mengatakan:

"...The United States has become a leading rogue state. Surely it's a terrorist state under its own definition of international terrorism, not only carrying out violent terrorist acts and supporting them, but even radically violating the so-called "Bush Doctrine," that a state that harbors terrorists is a terrorist state."


Banyak orang Amerika tidak suka kepada Chomsky terutama politikus dan akademisi pro-pemerintah. Sayangnya, lebih banyak orang yang angkat topi buatnya. Polling majalah Prospect and Foreign Policy di Amerika belum lama ini, misalnya, memilih dia sebagai "the world's number one intellectual". The New York Times menyebutnya "arguably the most important intellectual alive". Dan menurut The Boston Globe dia adalah "America's most useful citizen".

Saya sendiri suka membaca tulisan Chomsky. Karena bergelut di bidang jurnalistik, karyanya yang paling memukau saya, tentu saja, "Manufacturing Consent" (1989), hasil kolaborasinya dengan Edward Herman. Di situ mereka bilang, karena menganggap masyarakat sebagai bewildered mass yang tidak mengerti apa yang penting bagi mereka, para elit meraasa perlu "menunjukkan jalan" -- antara lain dengan mengontrol media.

Arundhati Roy, penulis India yang di sini dikenal melalui bukunya "The God of Small Things" (1997), dalam pengantar bukunya yang lain "War Talk" (2003), menuliskan kekagumannya kepada Chomsky dan beberapa penulis lain seperti John Pilger. Pemenang penghargaan buku yang paling bergengsi di Inggris, Booker Connell Prize 1997, untuk kategori novel ini, menilai Chomsky berjasa menguak sisi dari realitas yang tak pernah mau disentuh banyak penulis lain. Saya sepakat. Ketika nasionalisme cenderung diterjemahkan sebagai semangat right or wrong is my country, kehadiran orang-orang seperti Chomsky dibutuhkan untuk menunjukkan: pada titik-titik mana saja kita (mungkin) telah menyimpang --- dan, karena itu, perlu segera diluruskan. Atau seperti kata Paul Krugman yang disarikan dalam edisi terbaru majalah International Monetary Fund, Finance and Development:

"The role of public intellectuals is less to come up with good ideas...but more to serve as a watchdog to get rid of bad ideas and prevent their coming back."

Banyak resensi mengatakan Failed State bukan karya terbaik Chomsky. Barangkali ya. Tapi saya tetap percaya buku ini dan buku lain sejenis -- misalnya karya John Pilger tentang negaranya Australia, "A Secret Country" (1989) -- seharusnya secara positif menjadi cermin bagi masyarakat dan para pengambil keputusan di masing-masing negara.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home