Friday, June 09, 2006

Barefoot Journalists

Suatu ketika Michael Rowles, dosen Political Journalism di University of Leeds, United Kingdom, mengajukan pertanyaan ini: "Menurut anda, apa yang menjadi pokok liputan jurnalisme politik?" Teman dari India menjawab, itu masalah perebutan kekuasaan. Rekan lain yang bekerja sebagai humas sebuah perusahaan minyak di Rusia mengatakan, itu tentang program-program pemerintah. Teman duduk saya, seorang jurnalis Cina lain lagi, itu soal partai katanya. Saya sendiri menjawab, itu menyangkut hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. "Saya punya pendapat lain. Anda boleh tidak setuju," ujar Rowles kemudian. "Menurut saya jurnalisme politik menyoroti implikasi riil dari setiap ke(tidak)bijakan pemerintah atas setiap warga negara."

Banyak yang tidak sepakat dengan Rowles. Soalnya, itu langsung menohok model pongelolaan berita yang lazim dilakukan saat ini, termasuk prinsip-prinsip pragmatis media. "Media harus menulis tentang masyarakat biasa yang tak banyak dikenal dan, barangkali, juga tak punya uang buat beli koran? Yang benar saja! Media harus dijual bung. Dan harus ada yang mau pasang iklan," ujar seorang teman ketika berdiskusi setelah kelas usai. "Cerita tentang seorang gelandangan yang hampir mati kelaparan -- di mana-mana gelandangan selalu kelaparan --- dan tentang, katakanlah, Michael Owen yang keracunan makanan, mana yang lebih menarik?"

Rowles, menurut saya, tidak salah. Kalau, konsep tentang media massa sebagai pilar demokrasi yang melayani kepentingan rakyat -- atas nama rakyatlah jurnalis mendapatkan banyak hak khusus -- belum berubah. Tapi, argumentasi berbasis kepentingan bisnis dan politik media tak bisa dibilang salah. Kalau tak ada yang beli, tak ada yang mau pasang iklan, tidak "selamat" secara politis, bagaimana media bisa bertahan hidup?

Praktek jurnalisme modern pada akhirnya minus malum -- tidak lebih dari kompromi antara banyak kepentingan. Tapi benarkah tidak ada jurnalis yang berdiri tegak di atas idealisme ala Rowles, meski secara ekonomi dan politik kurang beruntung? Tenyata mereka ada. Arjun Banjade, dosen di Tribhuvan Universtiy, Kathmandu, Nepal, menamakan mereka barefoot journalists. Dalam artikelnya "Gaunle Deurali: Barefoot Community Journalism in Western Nepal" dia menulis:

"The newspaper, a product of barefoot journalism, is used as a platform for local leaders and villagers to express what is important to them rather than being a channel for the government or political elite to push their agenda."

Dia menambahkan, barefoot journalism adalah alternatif yang memberdayakan di tengah-tengah praktek jurnalisme di negara-negara Dunia Ketiga yang bermasalah: sangat bergantung kepada official sources.

"...the journalist...should critically evaluate and report the relevance of a development project; ... the difference between the planned scheme and its actual implementation; and the difference between its impact on people as claimed by government officials and as it actually is."

Tentu saja Banjade tak sepenuhnya benar. Dia mungkin belum membaca buku Noam Chomsky dan Edward Herman, Manufacturing Consent (1989), yang jelas menunjukkan bahwa praktek tersebut juga jamak di Amerika. Praktek itu bahkan menjadi salah satu sebab utama media-media besar di sana tak sepenuhnya independen. Toh itu cuma "kekeliruan" kecil. Lupakan. Bagaimana pun Banjade berhasil menguak persoalan klasik: "perang" antara idealisme dan pragmatisme dalam jurnalisme.


Mengutip Aggrawala NK, dia menuliskan kritik ini:

Apa boleh buat, audiens et proclamans bagi jurnalis ternyata bukan perkara sederhana. Ada jalan mudah, ada jalan sulit. Apalagi, sering terjadi, siapa yang harus didengarkan (audiens) dan kepada siapa berita diwartakan (proclamans) tidak merupakan pilihan personal.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home